logo 2023

Anda Memasuki Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani

Mahkamah Syar'iyah Blangpidie
Anda Memasuki Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani

Selamat Datang

Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat datang di website resmi Mahkamah Syar'iyah Blangpidie. Website ini dibuat sebagai sarana untuk memberikan informasi kepada pihak internal maupun eksternal Mahkamah Syar'iyah Blangpidie
Selamat Datang

Aplikasi SIPP

Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.
Aplikasi SIPP

SIWAS

Aplikasi yang disediakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, untuk melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau Peradilan dibawahnya.
SIWAS

Pencanangan Zona Integritas

Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani
Pencanangan Zona Integritas

LAYANAN DISABILITAS

SITIYALOGInformasi Teramah dalam Layanan Bagi Penyandang Disabilitas

INFORMASI PERKARA

elearningMelalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), anda akan mengetahui tahapan, status dan riwayat perkara.

DIREKTORI PUTUSAN

web monitorPublikasi putusan sebagai bentuk keterbukaan informasi dan layanan kepada masyarakat dalam mengakses putusan.

SYARAT BERPERKARA

majalahEstimasi panjar biaya yang dibayar oleh pihak yang berperkara dalam proses penyelesaian suatu perkara.

GALERI MS

galerimsiconFoto Kegiatan Mahkamah Syar'iyah Blangpidie.

GUGATAN MANDIRI

gugatanmandiriicon2Aplikasi Gugatan/ Permohonan Mandiri.

 

     Hati-Hati Dengan Penipuan/Oknum Yang Mengatasnamakan Mahkamah Syar'iyah Blangpidie dan Terima Kasih Anda Tidak Memberikan Apapun dalam Bentuk Apapun Kepada Kami (STOP PUNGLI)

KONKRETISASI ALASAN MENDESAK DAN BUKTI CUKUP DALAM MEMBERIKAN DISPENSASI PERKAWINAN BAGI ANAK OLEH HAKIM

 

Mansari

Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam

Universitas Iskandarmuda Banda Aceh

Kampus UNIDA, Surien, Meuraxa, Kota Banda Aceh

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Muzakir

Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue

Jl. Poros Utama Kompleks Perkantoran Suka Makmue

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

Ahmad Fikri Oslami

Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan

Gampong Air Barudang, Kec. Tapaktuan

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Zahrul Fatahillah

Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah

Nahdlatul Ulama Aceh

Jl. Banda Aceh-Medan, Dilip Bukti, Suka Makmur Aceh Besar

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

ABSTRACT

The article discusses the concretization of urgent reasons and sufficient evidence for granting marriage dispensations in Law Number 16 Year 2019. This study is how to concretize urgent reasons and sufficient evidence by the judge to provide marriage dispensations for children. Researchers used empirical legal research methods and used primary legal materials, secondary legal materials and primary data obtained through interviews with Shariah court judges. Data analysis was performed prescriptive to provide an assessment of the implementation of the Marriage Law. The results showed that the request for marriage dispensation for children after the birth of Law Number 16 Year 2019 increased despite being tightened by the Supreme Court Regulations, the age of the application was between 15 and 19 years. Children must be presented to the court for advice related to the risk of child marriage. Concretization of the state of urgency and sufficient evidence is carried out with due regard to the facts at the trial, namely worrying about acts that are prohibited from religion, getting pregnant out of wedlock and having been married (in twos). Sufficient evidence concreted by the judge was to request witnesses who were present who knew the background of the parents, prospective husband / wife and the reasons for the marriage of the child and proof of marriage rejection from the KUA, Child Identity Cards, birth certificates and final diplomas. It is recommended that judges prioritize the best interests of the child and that a reproductive health certificate from the hospital should be requested.

Keywords : Marriage Age, Law Number 16 Year 2019, Child

PENDAHULUAN

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 22/PUU-XV/2017 telah mempersamakan usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Putusan tersebut berawal dari adanya permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur usia perkawinan bagi laki-laki 19 tahun dan 16 tahun bagi perempuan. Ketentuan tersebut dianggap diskriminasi bagi perempuan dan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dan meningkatkan usia perkawinan khusus bagi perempuan menjadi 19 tahun. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan permohonan tersebut adalah "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi".

Tindak lanjut dari putusan tersebut, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usia perkawinan dalam UU tersebut ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) yang menyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Secara kuantitatif usia perkawinan dalam UU yang baru ini lebih tinggi dibandingkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 sebelum direvisi. Tujuannya adalah untuk mencegah perkawinan di usia anak dan menghambat angka kelahiran.[1]

Kehadiran UU baru tersebut justeru menimbulkan persoalan baru dalam kenyataan empiris di Mahkamah Syar’iyah. Permohonan dispensasi yang diajukan oleh orangtua anak semakin tinggi dibandingkan dengan sebelum adanya perubahan. Menurut data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Suka Makmur, pada tahun 2018 permohonan dispensasi anak berjumlah 1 kasus. Pada tahun 2019 permohonan dispensasi meningkat menjadi 4 kasus. Kemudian pada tahun 2020 semakin meningkat menjadi 9 kasus hingga bulan April. Fenomena tingginya permohonan dispensasi nikah tidak hanya terjadi di Mahkamah Syar’iyah Suka Makmur, hal yang sama turut dirasakan oleh Pengadilan Agama Jombang. Pada tahun 2018 mencapai 98 kasus dan meningkat pada tahun 2019 menjadi 183 kasus.[2]

Tingginya angka permohonan dispensasi ini tentunya dilatarbelakangi oleh karena adanya dispensasi perkawinan yang diberikan oleh UU Nomor 16 Tahun 2019 sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Ketentuan ini menjadi dasar bagi orangtua anak yang ingin menikahkan anaknya, tapi usianya belum mencapai 19 tahun.[3] Pembatasan usia perkawinan bagi anak bertujuan untuk menekan semaksimal mungkin agar dapat mencegah perkawinan anak.[4]

            Penekanan pada adanya alasan mendesak dan bukti yang cukup ini sebenarnya bertujuan untuk menekan supaya perkawinan di bawah umur tidak dilakukan. Bagi pemohon (orangtua atau wali) harus membuktikan kepada hakim terkait alasan mendesak sehingga mendorong bagi pemohon mengajukan permohonan. Begitu pula pemohon diharuskan membawakan bukti-bukti yang cukup serta memperlihatkan kepada hakim bahwa anak yang dimohonkan dispensasi nikah sudah layak untuk menikah. Alasan dan bukti itulah yang menjadi dasar bagi hakim untuk menerima dan menolak dispensasi perkawinan yang diajukan. Kajian ini berusaha menganalisis permohonan dispensasi perkawinan pasca UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta alasan mendesak dan bukti yang cukup yang dijadikan hakim sebagai dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan dispensasi nikah bagi anak. Berdasarkan permasalahan sebagaimana dideskripsikan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini, yaitu: Bagaimana permohonan dispensasi perkawinan pasca lahirnya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 ? dan Bagaimana konkretisasi alasan yang mendesak dan bukti-bukti yang cukup dalam memberikan dispensasi perkawinan bagi anak oleh hakim di Mahkamah Syar’iyah?

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.[5] Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum sosiologis atau penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku dan yang terjadi dalam kenyataan di masyarakat.[6] Penelitian ini adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan, setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan kajian dalam ilmu hukum.[7]

Penelitian hukum sosiologis juga disebut penelitian yuridis empiris. Metode penelitian yuridis empiris (empirical law research) adalah penelitian hukum positif mengenai prilaku (behavior) anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat[8]. Penggunaan metode penelitian ini dikarenakan peneliti ingin mendeskripsikan pemberlakuan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 khususnya berkaitan dengan dispensasi nikah terhadap perkawinan yang harus didasari oleh adanya alasan mendesak dan bukti yang cukup yang harus dibuktikan oleh pemohon.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan menelaah literatur yang tersedia di perpustakaan terkait bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam kajian ini. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk bahan hukum sekunder penulis menggunakan bahan yang terdapat dalam buku, jurnal dan hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan kajian ini.[9] Di samping itu, kajian ini menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.[10] Sumber data diperoleh dari lapangan secara langsung dengan cara mewawancarai.

Penarikan sampel dalam menentukan responden ditentukan dengan memperhatikan kasus-kasus yang ditangani oleh hakim di Mahkamah Syar’iyah. Responden yang dipilih sebagai sampel yaitu hakim yang pernah mengadili dan memutuskan perkara dispensasi nikah. Hal ini dikarenakan banyaknya informasi yang diperoleh oleh hakim berdasarkan fakta-fakta yang sering diajukan ke persidangan. Mewawancarai hakim yang pernah mengadili dan memutuskan perkara dispensasi nikah dilakukan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mendapatkan informasi yang akurat dari narasumber yang berkompeten.

Analisis data yang peneliti lakukan adalah analisis preskriptif yaitu analisis data dengan memberikan argumentasi terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang didapat dari informasi yang diberikan oleh hakim dan bahan-bahan yang terdapat di perpustakaan. Preskripsi yang diberikan oleh peneliti yaitu sebagai penilaian antara penegakan hukum dengan penerapan Undang-undang Perkawinan sesuai atau tidaknya dalam perspektif ilmu hukum.[11]

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

  1. 1.Dispensasi Perkawinan Pasca UU Nomor 16 Tahun 2019

Lahirnya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan angin segar bagi anak. Usia perkawinan diperbolehkan bagi yang sudah mencapai usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. UU terbaru ini menambahkan usia perkawinan bagi perempuan yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun. UU baru ini di samping memberikan batasan usia yang tinggi, tapi masih tetap memberikan ruang mengajukan dispensasi perkawinan bagi orangtua anak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Ketentuan ini menjadi solusi yang bagi anak dan orangtuanya untuk meminta dispensasi perkawinan kepada Mahkamah Syar’iyah. Permohonan dispensasi tentu harus dibarengi dengan bukti-bukti yang cukup dan alasan-alasan yang lengkap dengan tujuan agar dapat menyakinkan hakim supaya dapat dikabulkan permohonannya.

Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) memberikan penjelasan alasan mendesak yaitu adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Ketentuan ini memberikan petunjuk dispensasi perkawinan hanya diberikan adanya alasan yang mendesak sehingga dengan terpaksa perkawinan harus dilangsungkan. Aturan di atas tidak memberikan batasan yang tegas alasan mendesak sehingga dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian bagi hakim dalam merumuskan telah terpenuhi alasan yang mendesak ataupun belum. Begitu pula hakim dalam mengabulkan permohonan dispensai disertai dengan bukti-bukti yang cukup. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) menjelaskan bukti-bukti pendukung yang cukup adalah "surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan”.

Alasan yang mendesak dan bukti-bukti yang cukup ini merupakan suatu pembaharuan dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak menentukan alasan ini sehingga dispensasi perkawinan sangat longgar dan sangat mudah diterima oleh hakim. Meskipun demikian alasan yang seringkali dikabulkannya dispensasi adalah dikarenakan telah terjadi problem sosial pergaulan remaja yang hamil di luar nikah.[12] Adanya ketentuan alasan mendesak dan bukti mendesak dalam UU Perkawinan pasca revisi sebenarnya dapat memperketat proses permohonan dispensasi perkawinan. Pemohon untuk menguatkan permohonannya diharuskan membuktikan alasan mendesak dan dan membawakan bukti yang cukup di hadapan persidangan. Hakim akan menilai alasan-alasan tersebut sesuai dengan fakta-fakta yang disajikan oleh orangtua sebagai pemohon dan saksi-saksi yang dihadirkan.

Permohonan dispensasi perkawinan menjadi instrumen paling ampuh untuk melegitimasi perkawinan anak oleh orangtuanya. Orangtua yang hendak menikahkan anaknya tapi terkendala batas minimal usia perkawinan yang ditentukan oleh UU Nomor 16 Tahun 2019 sehingga menempuh melalui permohonan dispensasi perkawinan. Permohonan dispensasi meningkat sejak usia perkawinan ditinggikan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019. Menurut Muji Hendra, permohonan perkawinan sejak disahkan UU Perkawinan baru meningkat drastis. Sejak disahkan hingga bulan April 2020 mencapai 15 kasus di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan. Angka ini berbeda sebelum adanya UU Perkawinan yang hanya 2 atau 3 kasus dalam setahun.[13] Hal yang sama diungkapkan oleh Iwin Indra yang merupakan hakim Mahkamah Syar’iyah Sukamakmue. Pada tahun 2019 permohonan dispensasi perkawinan berjumlah 4 kasus. Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2020 mencapai 9 kasus per bulan April.[14]

Peningkatan batas usia perkawinan belum efektif menurunkan angka perkawinan anak. Justeru hadirnya UU Perkawinan mengakibatkan angka permohonan dispensasi perkawinan semakin meningkat.[15] Trend permohonan dispensasi yang berkembang berdasarkan fakta konkrit di Mahkamah Syar’iyah menunjukkan fenomena yang berbeda dengan sebelum adanya perubahan UU Perkawinan yaitu usia anak yang dimintakan penetapan dispensai yaitu berkisar antara 16-18 tahun. Sebelum adanya perubahan UU perkawinan, permohonan dispensasi sering diajukan oleh orangtua yang umur anaknya di antara 15-16 tahun dan ada pula yang 15,8 tahun.[16] Seperti dalam penetapan Nomor 4/Pdt.P/2020/MS.SKM di mana anak masih berusia 18 tahun 7 bulan. Hakim menerima permohonan tersebut dan memberikan izin menikah anak dengan calon suaminya yang telah berumur 30 tahun.[17] Begitu pula dengan putusan Nomor 58/Pdt.P/2020/MS.SKM yang memberikan penetapan terhadap anak yang berusia 18 tahun untuk menikah dengan laki-laki yang berusia 22 tahun. Anak dalam penetapan ini telah mengikuti pendidikan tingkat SMA sampai selesai.[18]

Kenyataan ini menunjukkan adanya perubahan permohonan dispensasi sebelum dan pasca disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2019. Perbedaannya pada jenjang pendidikan yang dilalui oleh anak. Pada umumnya usia 18 tahun anak-anak di Indonesia telah menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Berbeda dengan sebelum adanya perubahan UU yang mana anak-anak dinikahkan kebanyakan tidak menempuh pendidikan sampai SMA, karena permohonan dispensasi diajukan di antara 15-16 tahun dikarenakan batasan usia 16 tahun.

Mayoritas yang mengajukan dispensasi perkawinan berasal dari orangtua pihak perempuan dan sebagian kecil lainnya dari pihak laki-laki. Ada pula yang diajukan oleh kedua orangtua calon suami/isteri dikarenakan keduanya masih masuk dalam kategori anak-anak.[19] Alasan yang sering disampaikan orangtua perempuan adalah karena anak tersebut telah putus sekolah pada usia sebelum 19 tahun. Alasan ini menjadi alasan sosiologis bagi masyarakat yang tinggal di daerah dikarenakan putus putus sekolah para orangtua menikahkan anaknya pada usia yang relatif muda.

Dalam upaya menekan perkawinan pada usia anak, Mahkamah Agung memiliki kebijakan tersendiri dengan melahirkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Kehadiran Perma ini bertujuan untuk memperketat terjadinya perkawinan di usia anak dan berusaha semaksimal mungkin apabila dispensasi perkawinan diberikan harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karenanya setiap permohonan dispensasi harus dihadirkan anak ke persidangan dengan tujuan agar mendapatkan tanggapan darinya terkait dengan alasan-alasan yang mendorong dirinya menikah di usia anak. Menurut Muji Hendra, semua anak menjawab menikah di usia anak merupakan keinginan yang berasal dari dirinya sendiri tanpa adanya paksaan orang lain. Anak menganggap telah mampu menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai isteri dalam rumah tangga serta telah cocok dengan pasangannya.[20] Untuk menghindari intervensi dalam mendapatkan informasi dari anak, setiap pemeriksaan anak di persidangan hakim meminta orangtua untuk keluar dari ruang sidang. Hal ini bertujuan supaya anak dapat memberikan jawaban secara leluasa tanpa intimidasi dari kedua orangtuanya. Kehadiran anak di persidangan di samping bertujuan mendapatkan informasi secara konkrit dari anak juga bertujuan untuk diberikan nasehat, pandangan dan dampak-dampak yang muncul dari perkawinan usia anak oleh hakim tunggal yang mengadilinya. Menurut Iwin Indra, dalam mencegah terjadinya perkawinan anak, hakim sudah berusaha sekuat tenaga menyakinkan agar menunda perkawinannya hingga mencapai usia 19 tahun. Respon yang selalu diberikan adalah untuk menghindari perzinahan lebih baik menempuh cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.[21]

  1. 2.Konkretisasi Alasan Mendesak dan Bukti Cukup oleh Hakim dalam Memberikan Dispensasi Perkawinan

Alasan mendesak dan bukti yang cukup merupakan dasar penting yang harus diajukan oleh orangtua atau wali ke hadapan hakim dengan tujuan agar hakim yang mengadili perkara tersebut mengabulkan permohonan yang diajukannya. Alasan mendesak dan bukti yang cukup menjadi suatu hal baru yang diatur oleh UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Dengan kata lain apabila calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan belum memenuhi batas minimal usia perkawinan yaity 19 tahun, orangtua pria maupun wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan/ Mahkamah Syar’iyah yang disertai dengan alasan dan bukti-bukti yang cukup.

Ketentuan tersebut memberikan syarat dapat diajukan dispensasi yaitu bila adanya alasan dan bukti yang cukup yang dihadirkan ke persidangan oleh pihak yang berkepentingan. Menurut Muji Hendra, alasan mendesak adalah suatu keadaan di mana hubungan pasangan calon mempelai tidak dapat ditunda lagi perkawinannya dengan alasan belum cukup batas minimal usia perkawinan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar bagi keduanya.[22] Irkham Soderi memberikan batasan maksud alasan mendesak sebagai alasan-alasan konkrit yang disampaikan oleh pemohon/orangtua anak/wali anak terkait status hubungan antara calon mempelai laki-laki dan perempuan yang mengkehendaki agar perkawinan dilakukan supaya terhindari dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.[23]

Untuk mengkonkritkan alasan mendesak tersebut menjadi tanggungjawab hakim dalam upaya penegakan hukum bagi masyarakat. Hakim yang akan mengkonkretisasikan alasan dan bukti yang cukup berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di persidangan. Untuk memberikan maupun menolak suatu permohonan dispensasi sangat ditentukan oleh alasan-alasan yang dikemukakan oleh para pihak. Suatu permohonan akan dikabulkan manakala alasan dan bukti yang diajukan dapat menyakinkan bagi hakim bahwa alasan patut diterima. Sebaliknya, hakim akan menolak permohonan dispensasi bilamana alasan yang diajukan kurang lengkap dan bukti yang dibawakan ke persidangan tidak sempurna.[24]

Hakim Mahkamah Syar’iyah sebenarnya dihadapkan pada dua kondisi kemudharatan dalam mempertimbangkan diterima atau ditolaknya permohonan dispensasi perkawinan. Kemudharatan yang pertama adalah apabila ditolak akan adanya dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan yang dilarang oleh agama. Apalagi di Aceh berkaitan dengan khalwat (berdua-duan), zina, ikhtilath (bermesraan antara orang non muhrim di tempat terbuka maupun tempat tertutup) dan pelecehan seksual akan dikenakan cambuk bagi masyarakat yang melanggarnya. Kemudharatan kedua yang dikhawatirkan hakim bila permohonan diterima yakni masa depan hubungan keluarga pasangan calon suami isteri. Belum adanya kematangan dalam berfikir dan bertindak, kemampuan finansial yang kurang memadai turut berkontribusi memperkeruh kehidupan keluarga.  

Untuk itulah hakim memberikan pertimbangan hukum ((tasbib al-ahkam/legal reasoning) dengan melihat alasan-alasan yang mendesak guna mengabulkan dispensasi perkawinan yang diajukan orangtua/walinya. Alasan mendesak yang dijadikan dasar oleh hakim dalam memberikan penetapan disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu: Pertama, hamil di luar nikah. Dengan pesatnya kemajuan tekhnologi sekarang ini, juga mempengaruhi perkembangan psikologis bagi anak-anak, dimana tingkat kedewasaan anak-anak sekarang lebih cepat dibandingkan anak-anak pada tahun 1990-an. Arus informasi yang begitu deras masuk tanpa ada filter dan batasan dan peredaran konten-konten porno yang mudah didapat melalui internet, sehingga memicu penasaran pada diri anak tersebut dan ingin mencoba sesuatu yang dilihat tersebut tanpa menyadari efek jangka panjang pada diri anak tersebut. Apalagi anak yang kurang perhatian dari orang tua sangat rentan melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti melakukan hubungan badan diluar nikah yang menyebabkan kehamilan.[25] Menurut Wisono Mulyadi, alasan yang sering disampaikan ke Pengadilan adalah karena hamil sebelum nikah, telah berhubungan layaknya suami isteri dan pernah tidur bersama sebelum menikah.[26]

Beberapa kasus yang diajukan di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan penyebab diajukannya permohonan dispensasi kawin karena pihak perempuan sudah hamil diluar nikah dikarenakan antara anak dan orangtua yang tidak tinggal serumah, di mana anak bersekolah di Tapaktuan sedangkan orangtua tinggal di kampung yang cukup jauh dari Tapaktuan, sehingga tidak ada control pergaulan anak dari orangtua.[27] Hamil di luar nikah menjadi aib bagi keluarga masing-masing.[28]

Kedua, melakukan hubungan layaknya suami isteri.[29] Apabila calon tersebut laki-laki yang belum cukup usia perkawinan, maka hakim akan menelusuri faktor apa yang menyebabkan calon tersebut ingin segera menikah di bawah umur, biasanya kasus-kasus yang masuk di Mahkamah Syar’iyah, terhadap calon di bawah umur yang ingin melakukan pernikahan disebabkan telah terjadinya hubungan badan yang menyebabkan kehamilan, sehingga tidak dapat dielakkan untuk bertanggungjawab terhadap perbuatan yang telah dilakukan.[30] Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pemberian dispensasi oleh hakim dengan tujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi perempuan yakni laki-laki yang telah melakukan hubungan intim diminta untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Di samping itu, tujuannya adalah supaya dapat diketahui nasab dari anak tersebut dari orang yang menghamilinya. Hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam maqashid syari’ah (tujuan penetapan hukum Islam) yaitu untuk memelihara keturunan.

Ketiga, anak yang dimohonkan bersama calon suaminya ditangkap oleh masyarakat dikarenaka berdua-duaan. Seperti yang terdapat dalam putusan nomor 250/Pdt.P/2019/MS.Skm. yang terungkap di persidangan bahwa akibat dari ditangkap oleh warga, kemudian diminta untuk menikah.[31] Fenomena seperti ini menjadi alasan sosiologis yang seringkali terjadi di Aceh. Konsekuensi bagi pasangan yang ditemukan berdua-duaan dengan laki yang bukan muhrim biasanya akan dinikahkan. Dalam beberapa kasus yang ditangkap oleh masyarakat masih dikategorikan sebagai anak dan tidak cukup usia menikah sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan sehingga memilih untuk mengajukan dispensasi kepada Mahkamah Syar’iyah yang memiliki kewenangan untuk mengadilinya.[32]  

Keempat, usia putus sekolah yang masih tinggi. Dalam beberapa kasus juga pengajukan dispensasi kawin disebabkan anak tersebut sudah tidak melanjutkan sekolah lagi baik di tingkat SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi, sehingga dengan tidak bersekolah lagi, anak sudah tidak ada tujuan hidup lagi selain menikah dan untuk mengurangi kemudharatan akibat pergaulan apabila tidak segera menikah.[33]

Dasar pertimbangan hukum hakim lainnya dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kedudukan hukum pemohon yang harus diajukan oleh orangtua atau walinya. Pada umumnya pemohon dispensasi perkawinan diajukan oleh orangtua maupun wali si anak. Kedua pihak tersebut merupakan orang yang memiliki kepentingan langsung dan berwenang untuk bertindak atas nama anak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kedua, ada atau tidaknya hubungan keluarga yang mengakibatkan haramnya pernikahan antara anak yang dimohonkan dispensasi dengan calon suaminya. Dalam Islam terdapat larangan-larangan pernikahan yang telah digarisbawahi oleh hukum syara’ yang tidak boleh diterobos oleh siapapun. Untuk itu, hakim harus sangat hati-hati untuk mengabulkan dispensasi perkawinan dan harus memperhatikan larangan perkawinan. Dalam Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan yang dapat mengakibatkan pernikahan tidak dapat dilangsungkan, hakim meminta kepada pemohon untuk menghadirkan saksi-saksi yang menerangkan bahwa di antara calon mempelai laki-laki dan calon perempuan tidak memiliki larangan pernikahan. Menurut Muji Hendra, mayoritas para saksi sangat jelas mengetahui kondisi anak dan calon suami/ isteri memang tidak ada halangan untuk menikah menurut agama.[34] Berdasarkan data tersebut akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menerima suatu permohonan dispensasi.

Ketiga, adanya pendapatan yang memadai. Hakim juga menelusuri kondisi ekonomi calon tersebut, apabila calon tersebut adalah laki-laki yang sudah cukup usia perkawinan, maka hakim akan menelusuri kondisi ekonomi calon tersebut apakah sudah layak untuk menikah dengan kemampuan ekonomi yang ada pada diri calon tersebut, dan dari pembuktian yang mendalam dari para saksi, mayoritas calon suami yang sudah cukup usia perkawinan mempunyai penghasilan yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap nafkah kepada isteri kelak[35].

Alasan-alasan mendesak yang didalilkan dalam permohonan wajib dibuktikan oleh pemohon di persidangan. Oleh karenanya, pembuktian dalam perkara permohonan dispensasi perkawinan memiliki peranan yang sangat strategis. Menurut Syaiful Bakhri, pembuktian merupakan suatu tahapan penting dalam hukum acara perdata dan kepada pihak itulah dibebankan membuktikan dalil-dalil yang dituangkan dalam permohonan maupun gugatan.[36] Dalam permohonan dispensasi hakim akan mempertimbangkan dua elemen penting dalam pembuktian yaitu alat bukti surat dan alat bukti saksi.[37] Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata yang terdiri dari alat bukti surat, alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan dan sumpah.[38]

Konkretisasi bukti yang cukup yang selalu mendapatkan perhatian dari hakim yaitu menekankan pada saksi-saksi yang dihadirkan ke persidangan. Kehadiran saksi sangat penting untuk mengkonfirmasi alasan dan latar belakang anak menikah pada usia anak. Untuk itulah, hakim meminta saksi hadir untuk mendapatkan informasi sebagai berikut: Pertama, saksi harus mengetahui latar belakang orangtua anak. Hakim juga selalu mencari informasi kepada para saksi terhadap kondisi latar belakang orangtua anak, apakah ada intervensi dari orang tua kepada anak untuk melakukan pernikahan dibawah umur atau memang keinginan dari anak itu sendiri. Dalam mayoritas kasus di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, Hakim menemukan tidak ada intervensi dari orang tua kepada anak untuk menikah dini, bahkan kebanyakan orang tua mencari solusi agar anak tersebut menikah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dengan memberi pandangan dan nasehat kepada anak terkait konsekuensi pernikahan dini yang dilakukan.[39]

Kedua, saksi harus mengetahui latar belakang calon suami/isteri anak. Selain mengetahui latar belakang anak dan latar belakang orang tua anak, Hakim juga menggali informasi dari para saksi yang diajukan terkait keadaan calon suami/ isteri anak, apa yang melatar belakangin calon tersebut untuk menikahi anak dibawah usia pernikahan yang telah diatur di Indonesia. Mayoritas saksi yang diperiksa oleh Hakim juga mengetahui latar belakang calon suami/ isteri dari anak, dan dari hasil pembuktian yang mendalam memang keinginan untuk menikah itu juga dilatarbelakangi keinginan yang kuat dari kedua belah pihak baik si anak maupun calon suami/ isteri anak tersebut.[40]

Ketiga, Saksi harus mengetahui latar belakang anak untuk melakukan pernikahan dini. Dalam pembuktian yang dilakukan oleh hakim kepada para saksi, biasanya Hakim menggali informasi terhadap latar belakang keinginan anak untuk menikah dibawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Disini hakim akan bertanya kepada saksi sejauh mana pengetahuan saksi terhadap alasan yang sangat mendasar dari si anak sehingga si anak memang sudah bulat untuk menikah dibawah umur.[41] Ketiga aspek di atas sangat menentukan diterima atau tidaknya permohonan dispensasi nikah. Apabila ditemukan adanya unsur paksaan dari informasi yang disampaikan oleh saksi di persidangan dapat dipastikan hakim menolak dispensasi perkawinan, karena di samping bertentangan dengan UU Perkawinan juga bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan sebagaimana yang telah dideskripsikan di atas, dapat disimpulkan bahwaPermohonan dispensasi perkawinan anak pasca lahirnya UU Nomor 16 Tahun 2019 semakin meningkat. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor berikut: pertama, rata-rata orangtua yang memohon dispensasi nikah di antara 15 sampai dengan 19 tahun. Sebelum disahkan UU tersebut hanya anak perempuan yang telah berumur 14 tahun sampai 16 tahun yang memohon dispensasi perkawinan. Kedua, kurangnya sosialisasi secara massif yang disampaikan oleh pemerintah kepada semua lapisan masyarakat. Ketiga, anak perempuan yang putus sekolah sehingga didorong untuk menikah oleh kedua orangtuanya. Keempat, hubungan pacaran yang dijalin oleh laki-laki dan perempuan dalam durasi waktu yang lama.

Konkretisasi alasan mendesak yang menjadi dasar hakim mengabulkan dispensasi perkawinan adalah: hamil di luar nikah, telah melakukan hubungan layaknya suami isteri, anak ditangkap oleh masyarakat karena berdua-duaan dengan pasangannya yang non muhrim dan anak putus sekolah sehingga dikhawirkan apabila tidak dinikahkan terjadinya hal-hal yang dilarang oleh agama. Bukti yang cukup selalu dijadikan hakim menetapkan dispensasi nikah adalah bukti saksi yang mengetahui latar belakang orangtua anak menikahkan anaknya dan alasan yang mendorong anak menikah pada usia di bawah batas minimal yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Alat bukti lainnya yang diperlihatkan di persidangan adalah bukti penolakan perkawinan dari KUA, kartu identitas anak, akte kelahiran dan ijazah terakhir.     

Dari uraian sebagaimana yang telah penulis deskripsikan di atas, disarankan kepada hakim agar dapat mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dalam menetapkan dispensasi perkawinan bagi anak. Disarankan kepada hakim agar meminta keterangan surat dari dokter yang menerangkan bahwa anak telah sehat secara jasmani dan rohani serta kesehatan reproduksi.

Referensi:

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Ali Imrah, Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 5 No. 1 Januari 2011.

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2006.

Asri Wijayanti, Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2011.

Bagya Agung Prabowo, Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah pada Pengadilan Agama Bantul, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20, April: 2013.

Bambang Waluyo, Penelititan Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 15.

Erfani Aljan Abdullah, Pembaharuan Hukum Perdata Islam Praktik dan Gagasan, Yogyakarta: UII Press, 2017.

Marzuki, Metodologi Riset, Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1983.

Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet. Ke. 3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Sri Ahyani, Pertimbangan Pengadilan Agama atas Dispensasi Pernikahan Usia Dini Akibat Kehamilan di Luar Nikah, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 34, No. 1, 2016.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian dalam Capaian Keadilan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2018.

Wisono Mulyadi, Akibat Hukum Penetapan Dispensasi Perkawinan Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan), Privat Law, Vol. V, No. 2 Juli-Desember 2017.

Internet:

https://koranmemo.com/angka-permohonan-dispensasi-pernikahan-dini-tahun-2019-tinggi/, diakses pada Kamis, 16 April 2020.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5db127b0b52f3/dispensasi-perkawinan-tetap dimungkinkan--begini-syaratnya-menurut-uu-perkawinan-yang-baru/, diakses pada Kamis, 16 April 2020.


[1]Penjelasan umum UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[2]https://koranmemo.com/angka-permohonan-dispensasi-pernikahan-dini-tahun-2019-tinggi/, diakses pada Kamis, 16 April 2020.

[3]https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5db127b0b52f3/dispensasi-perkawinan-tetap dimungkinkan--begini-syaratnya-menurut-uu-perkawinan-yang-baru/, diakses pada Kamis, 16 April 2020.

[4]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 11.

[5]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 126.

[6]Bambang Waluyo, Penelititan Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 15.

[7]Ibid., hlm. 15.

[8]Asri Wijayanti, Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2011, hlm. 97.

[9]Marzuki, Metodologi Riset, Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1983, hlm. 56.

[10]Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2006, hlm. 30.

[11]Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet. Ke. 3,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, hlm. 184.

[12]Erfani Aljan Abdullah, Pembaharuan Hukum Perdata Islam Praktik dan Gagasan, Yogyakarta: UII Press, 2017, hlm. 29.

[13] Muji Hendra, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, 21 April 2020.

[14] Iwin Indra, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Sukamakmue, 17 April 2020.

[15] Muji Hendra, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, 16 April 2020.

[16] Mumu Mumin Muktasidin, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, 21 April 2020.

[17] Putusan Mahkamah Syar’iyah Sukamakmue Nomor 4/Pdt.P/2020/MS.SKM.

[18] Putusan Mahkamah Syar’iyah Sukamakmue Nomor 58/Pdt.P/2020/MS.SKM.

[19] Irkham Soderi, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, 21 April 2020.

[20] Muji Hendra, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, 16 April 2020.

[21] Iwin Indra, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, 21 April 2020.

[22] Muji Hendra, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[23] Irkham Soderi, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, wawancara, 20 April 2020.

[24] Mumu Mumin Muktasidin, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[25] Iwin Indra, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, wawancara, 20 April 2020.

[26] Wisono Mulyadi, Akibat Hukum Penetapan Dispensasi Perkawinan Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan), Privat Law, Vol. V, No. 2 Juli-Desember 2017, hlm.71.

[27] Mumu Mumin Muktasidin, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[28] Sri Ahyani, Pertimbangan Pengadilan Agama atas Dispensasi Pernikahan Usia Dini Akibat Kehamilan di Luar Nikah, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 34, No. 1, 2016, hlm. 44.

[29] Wisono Mulyadi, Akibat Hukum Penetapan Dispensasi Perkawinan Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan), Privat Law, Vol. V, No. 2 Juli-Desember 2017, hlm.71

[30] Muji Hendra, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[31] Putusan hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue Nomor 250/Pdt.P/2019/MS.Skm.

[32] Irkham Soderi, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, wawancara, 20 April 2020.

[33] Muji Hendra, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[34] Muji Hendra, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[35]  Iwin Indra, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, wawancara, 20 April 2020.

[36] Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian dalam Capaian Keadilan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2018, hlm.115.

[37] Irkham Soderi, hakim Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue, wawancara, 20 April 2020.

[38] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 239.

[39] Muji Hendra, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[40] Mumu Mumin Muktasidin, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.

[41]   Muji Hendra, Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, wawancara, 21 April 2020.


Kembali ke Beranda

Tautan Aplikasi


siwasicon


sippicon.


simariicon.


sikepicon


komdanasicon


elmariicon


ecourticon.


dirputusanicon.


saktiicon.


simpegbadilanicon


;

Alamat Kantor

Mahkamah Syar'iyah Blangpidie

Jalan Bukit Hijau Komplek Perkantoran Kabupaten Aceh Barat Daya

Telpon : (0659) 9496133

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Website : www.ms-blangpidie.go.id

 

 

 

Media Sosial

Peta Lokasi Kantor

slot thailand winstar88 https://www.mrbetonline.com/ https://xtremedomain.com/ https://micino-product.com/ slot gacor
Social Media Sidebar CCTV Link Live CCTV