SEKILAS SEJARAH MAHKAMAH SYAR’IYAH BLANGPIDIE
.
A. Sejarah Singkat Mahkamah Syar’iyah
Peradilan Islam sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh. Pada masa itu peradilan dipimpin oleh yang namanya Qadhi Malikul Adil yang berkedudukan di ibukota kerajaan yaitu Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Apabila dibandingkan dengan zaman sekarang Qadhi Malikul Adil ini sama derajatnya dengan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi, sedangkan peradilan yang lebih rendah ada di masing-masing daerah Uleebalang yang dipimpin oleh Qadhi Ulee Balang sebagai pemutus perkara di daerah hukumnya. Jika ada banding dari daerah-daerah Uleebalang diajukan ke Qadhi Malikul Adil.
Para Qadhi Malikul Adil dan Qadhi Ulee Balang baiasanya diangkat dari para ulama yang punya kemampuan mengadili perkara dan mempunyai wibawa di masyarakat. Karena zaman itu perkara banding belum begitu banyak seperti sekarang, maka Qadhi Malikul Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada sultan kerajaan.
Di zaman pendudukan Hindia Belanda, peradilan Islam sekaligus bagian dari peradilan adat yang diketuai oleh Uleebalang sedangkan untuk tingkat afdeling ada pengadilan yang bernama Musapat yang dikepalai oleh Contoller di mana uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya. Dalam praktiknya bila perkara bersangkutan dengan hukum agama, maka diserahkan saja kepada Qadhi Ulee Balang untuk memutuskannya tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum lain dari hukum agama diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadhi Ulee Balang dimaksud.
Sidang peradilan Musapat agar sah harus ada ketua dan sekurang-kurangnya 3 orang anggota dan seorang ulama Islam. Bila menyangkut kasus pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumiputera.
Pada zaman Jepang, kekuasaan peradilan dilakukan oleh Gunpokaiki, Gunritugaiki, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Pada masa kemerdekaan upaya melaksanakan syariat Islam dilaksanakan atas dasar surat Gubernur Sumatera melalui surat kawat Nomor 1189 tanggal 13 Januari 1947 yang memberi izin kepada Residence Aceh untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah. Keadaan itu berlangsung sampai dengan pembubaran Provinsi Aceh pada tahun 1950 yang berlanjut dengan dibentuknya Undang-Undang Swapraja dan meleburnya kepada Pengadilan Negeri.
Aceh sebagai Daerah Istimewa sebenarnya telah muncul sejak tahun 1959 berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 yang ditanda tangani oleh Mr. Hardi. Sebagai daerah otonomi,melalui surat keputusan tersebut, kepada Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu : Keagamaan, Peradatan dan Pendidikan. Namun keistimewaan tersebut terutama hak untuk menjalankan Syariat Islam di Aceh ( bidang keagamaan ) tidak pernah terealisasikan karena tidak pernah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya. Bahkan ada kesan keistimewaan tersebut dihalangi dan secara tidak langsung dicabut kembali dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah.
Meskipun demikian, sebenarnya Syariat Islam sebagian dari padanya telah berjalan sejak lama di tengah masyarakat Aceh. Ajaran Islam di bidang ibadah, perkawinan dan kewarisan telah dilaksanakan sejak lama, bahkan sejak masa kesultanan Aceh dahulu sehingga telah meresap dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Berlakunya Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara kaffah merupakan dambaan masyarakat Aceh sejak lama dan telah diperjuangkan selama puluhan tahun ke Pemerintah Pusat di Jakarta, namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh Negara sejak disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999.
Syariat Islam yang dicanangkan berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriyah adalah Syariat Islam secara kaffah ( menyeluruh/sempurna ). Timbul pertanyaan mengapa harus ditambah kata-kata “ kaffah “ ? Bukankah ketika kita berikrar melaksanakan Syariat Islam berarti kita harus melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meskipun tanpa menyebut kata-kata kaffah seperti tertera dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 208. Penyebutan kata-kata kaffah dianggap perlu dan penting secara politis, karena akan menentukan bagaimana peranan dan keterlibatan Negara ( Pemerintah Daerah ) dalam upaya pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Dengan demikian terlaksananya Syariat Islam di Aceh bukan hanya urusan pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tugas dan tanggung jawab Negara ( Pemerintah Daerah ). Dengan kata lain, ketika Syariat Islam tidak dapat dilaksanakan oleh orang perorangan secara pribadi, maka Negara akan turun tangan melaksanakannya.
Menurut pasal 3 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 ada empat bidang keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Aceh, yaitu
1. Penyelenggaraan kehidupan beragama;
2. Penyelenggaraan kehidupan adat;
3. Penyelenggaraan pendidikan, dan
4. Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah.
Selanjutnya lahir pula Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini tidak hanya mengubah sebutan untuk Aceh dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi juga mengatur berbagai hal yang khusus bagi Aceh, mulai dari bidang pemerintahan, keuangan daerah sampai dengan pembentukan suatu peradilan yang hanya ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yakni “ Peradilan Syariat Islam “ yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah. Pada tanggal 18 Agustus 2006 telah diundangkan pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana Undang-undang ini sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah dicabut kembali. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 ini lahir sebagai implementasi dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki Finlandia atau lebih dikenal dengan sebutan ”Memorandum of Understanding ( MOU ) Hensinki”. Di samping mengatur segala macam persoalan pemerintahan Aceh, Undang-undang ini juga mengatur tentang Majelis Permusyawaratan Ulama ( MPU ) sebagai lembaga yang independen dan Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari lingkungan Peradilan Agama.
Pada Agustus 1957, pemerintah pusat mengeluarkan PP Nomor 29 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama di seluruh wilayah Aceh. Pada tahun 1959, Perdana Menteri mengeluarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor I/Missi/1959 yang isinya menjadikan daerah istimewa bagi daerah Aceh. Pada masa orde baru lahir UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, namun tidak menyebutkan status pengadilan agama. Lalu lahir UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pasal 25 ayat (1) dan (2) UU Nomor 18 Tahun 2001 dijelaskan peradilan syariat Islam di Aceh sebagai bagian dari sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah dengan kewenangan didasarkan atas ssyariat Islam diatur lebih lanjut dengan qanun (peraturan daerah) Propinsi Aceh.
Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam yang disahkan pada 14 Oktober 2002. Kemudian mendapat dukungan dari pemerintah pusat, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Aceh yang berlaku pada 4 Maret 2003.
Dalam menyelaraskan dan mengharmonisasikan pelaksanaan syariat Islam di Aceh terutama dalam pelaksanaan persidangan di Mahkamah Syar’iyah, maka berdasarkan pasal 39 UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam qanun sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Adapun kewenangan bagi kepolisian di Mahkamah Syar’iyah hanya dijelaskan dalam penjelasan umum UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yaitu agar dalam melaksanakan tugas dan wewenang, maka Kepolisian RI wajib memperhatikan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan ketentuan yang mengatur otonomi khusus seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tentunya maksud dari penjelasan UU Kepolisian tersebut adalah bahwa kepolisian mempunyai tugas dan wewenang dalam melaksanakan jinayah di Aceh.
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam mengatur tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pada tinggkat pertama dalam bidang al-ahwal al-shakhsyiyah, muamalah dan jinayah. Menurut pasal 3 ayat (2) Kepres Nomor 11 Tahun 2003 dijelaskan bahwa bahwa pelaksanaan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang jinayah akan diwujudkan secara bertahap sesuai kemampuan, kompetensi dan kesediaan Sumber Daya Manusia.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian menyempurnakan peraturan tentang pemerintahan Aceh melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang disahkan pada 1 Agustus 2006. UU tentang Pemerintahan Aceh itu terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Dalam UU tersebut pada BAB XVIII pasal 128 sampai dengan pasal 137 dijelaskan tentang Mahkamah Syar’iyah . BAB XXVI pasal 204 hingga pasal 207 Tentang Kepolisian, dan BAB XXVII pasal 208 sampai dengan pasal 210 mengatur tentang kejaksaan.
Lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah peradilan syariat Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syariah Islam. Mahkamah Syariah merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada 4 Maret 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.
Sambil memperjuangkan Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam akan mengundang Ketua Mahkamah Agung RI untuk meresmikan pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah diresmikan satu setengah tahun yang lalu, dan peresmian tersebut direncanakan bersama dengan pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke IV, yaitu tanggal 19 Agustus 2004. Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didampingi oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Kepala Dinas Syari’at Islam dan Kepala Biro Hukum, pada tanggal 13 dan 16 Agustus 2004 mengadakan kosultasi dan menyampaikan Undangan kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Mahkamah Agung RI menyatakan pada prinsipnya dapat mengabulkan harapan dan Undangan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, tapi tidak pada tanggal 19 Agustus 2004 karena bersamaan dengan hari ulang tahun Mahkamah Agung RI.
Dalam pertemuan konsultasi berikutnya atas undangan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam disepakati bahwa peresmian operasional Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2004 hari senin di Banda Aceh, dengan mata acara pokok antara lain :
- Pembacaan Surat Keputusan Mahkamah Agung RI;
- Pembacaan Surat Keputusan Bersama Lembaga Penegak Hukum di Nanggroe Aceh Darussalam;
- Penandatanganan Naskah Peresmian Operasional Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah Agung akan mengelurkan SK Ketua Mahkamah Agung tentang pelimpahan sebagaian kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah. Adapun naskah peresmian dipersiapkan bersama-sama antara Tim Daerah dengan Tim Pusat. Alhamdulillah atas izin Allah SWT pada hari senin tanggal 11 Oktober 2004 acara peresmian operasional kewenangan Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan di Anjong Mon Mata, yang dihadiri oleh Ulama, tokoh Masyarakat, Anggota DPRD tingkat I, sebagian Bupati, Kapolres, Kajati, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Mahkamah Syar;iyah, Ketua MPU dan Kepala Dinas Syari’at Islam.
Dalam acara tersebut turut memberikan sambutan setelah laporan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam adalah Ketua Tim Interdep pembentukan Mahkamah Syar’iyah diwakili oleh (Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, SH), wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Kapolri yang diwakili oleh Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepala Kejaksaan Agung yang diwakili oleh Kajati Nanggroe Aceh Darussalam, serta bimbingan pengarahan dan peresmian oleh Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan, SH.
B. Proses Terbentuknya Mahkamah Syar'iyah Blangpidie
Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukotanya Blangpidie merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat Daya diresmikan sebagai kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Selatan sebagai kabupaten induknya melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Sejak tanggal 10 April 2002 Kabupaten Aceh Barat Daya diresmikan telah melaksanakan pembangunan sesuai dengan amanat undang-undang tersebut, namun ada beberapa hal Kabupaten Aceh Barat Daya masih tergantung dengan kabupaten induknya yaitu Kabupaten Aceh Selatan terutama dalam penegakan hukum. Dari segi penegakan hukum, belum semua institusi penegakan hukum yang secara otonom telah berada di Kabupaten Aceh Barat Daya misalnya untuk pengadilan (Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syar’iyah).
Pada saat belum dibentuknya Mahkamah Syar’iyah Blangpidie, masyarakat Aceh Barat Daya harus ke Tapaktuan menempuh jarak 70 km untuk dapat berurusan dengan pengadilan atau mahkamah. Sedangkan kebutuhan terhadap pelayanan hukum sudah sangat mendesak. Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan selaku Mahkamah Syar’iyah Induk, telah pernah mengusulkan ke Mahkamah Agung RI melalui Mahkamah Syar’iyah Aceh untuk pembentukan Mahkamah Syar’iyah Blangpidie mengingat jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan sekitar 60% berasal dari Kabupaten Aceh Barat Daya, selain itu Kabupaten Aceh Barat Daya sudah menjadi kabupaten otonom yang terlepas dari Kabupaten Aceh Selatan.
Khusus untuk Mahkamah Syar’iyah, Kabupaten Aceh Barat Daya sebenarnya telah mempunyai tanah (seluas 6000 M2) dan gedung sendiri atau balai sidang yang dibangun pada saat Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah masih di bawah Kemenag (sebelum satu atap) di komplek perkantoran Kabupaten Aceh Barat Daya di Blangpidie, yang terletak tidak jauh dari kantor kementerian agama kabupaten namun karena aksesnya terlalu sulit dan jauh dan terletak di atas bukit sampai sekarang tidak/belum digunakan dikarenakan sulitnya akses ke gedung kantor tersebut sehingga gedung tersebut tidak terawat dan mengalami beberapa kerusakan. Oleh karena tidak bisa digunakan akhirnya MS Tapaktuan dan MS Aceh tidak menyetujui tanah dan bangunan tersebut dijadikan untuk rencana kantor Mahkamah. akhirnya Pemkab Abdya menghibahkan tanah lain yang terletak masih di Komplek Perkantoran Abdya seluas sekitar seluas 3.750 M2. Tanah itu saat itu masih dalam proses hibah dan belum bersertifikat.
Untuk itu usaha dan perjuangan untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah Persiapan terus dilakukan para stakeholder terkait terutama MS Tapakatuan dan MS Aceh. Akhirnya pada tahun 2006, pada moment kunjungan Pj. Gubernur Aceh pada saat itu, Dr. Ir. Mustafa Abubakar dalam rangka peresmian pelabuhan TPI Susoh, pihak MS Aceh dan MS Tapaktuan memanfaatkan moment ini dengan ditanda tanganinya prasasti peresmian Mahkamah Syar’iyah Persiapan Blangpidie, langsung oleh Pj. Gubernur (lihat gbr). Dengan diresmikannya Mahkamah Syar’iyah Persiapan maka pada tahun 2007 di saat Mahkamah Syar’iyah Aceh dipimpin oleh Bapak Sofyan Saleh, SH. Beliau memerintahkan kepada Ketua MS Tapaktuan waktu itu yakni Ali Usman Nyak Kadi, untuk menugaskan beberapa pegawai agar ngantor dan menerima berkas gugatan di Kota Blangpidie. Ketua MS Tapaktuan kemudian akhirnya menugaskan dua orang pegawainya yakni Bapak Drs. Sirajuddin dan Drs. Muhammad untuk berkantor di Blangpidie, sedangkan kantor yang dijadikan basement sementara terletak di Kuta Tuha Blangpidie yang disewakan oleh Pemkab setempat.
Kondisi di atas berlangsung selama 2 tahun. Kemudian sekitar tahun 2008, dengan alasan karena kurangnya SDM maka MS Tapaktuan menarik kembali dua orang pegawainya kembali beraktivitas di MS Tapaktuan. Akhirnya gedung persiapan tersebut kosong dan tidak berpenghuni. Usaha-usaha untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah Blangpidie yang permanen terus dilakukan oleh para Ketua yang memimpin MS Tapaktuan saat itu meskipun intensitasnya berbeda-beda. Mulai dari masa kepemimpinan Bapak Misharuddin, Zainal Rakam, SH, Bakti Ritonga, Indra Suhardi dan Amir Khalis. Pada tahun 2016 yakni masa kepemimpinan Zainal Rakam, pemerintah pusat telah mengeluarkan Kepres Nomor 16 tahun 2016 tentang pembentukan MS Blangpidie, MS Subussalam dan MS Nagan Raya. Sedangkan terbentuknya MS Blangpidie secara resmi dilakukan pada masa kepemimpinan MS Tapaktuan Amir Khalis, namun penjajakannya sudah dimulai pada masa Bakti Ritonga dan Indra Suhardi, karena pada saat itu gedung sementara untuk Mahkamah Syar’iyah Blangpidie sudah disiapkan oleh Pemkab setempat apabila nanti sudah resmi beroperasi. Namun tanah pertapakan tersebut saat itu hibahnya masih secara lisan belum ada SK penghibahan secara resmi.
Perlu diketahui bahwa Kabupaten Aceh Barat merupakan wilayah yang sangat luas yang terdiri 9 kecamatan dan 152 desa/gampong, maka sudah pantaslah terbentuknya Mahkamah Syar’iyah di Kabupaten Aceh Barat Daya. Sambil memperjuangkan terbentuknya Mahkamah Syar’iyah yang belum ada pada kabupaten/kota di Propinsi Aceh yaitu khususnya Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kota Subulussalam, maka pada tanggal 26 April 2016 Pemerintah Pusat menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyah Blangpidie, Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue dan Mahkamah Syar’iyah Kota Subulussalam.
Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 menjadi dasar awal terbentuknya Mahkamah Syar’iyah Blangpidie. Selanjutnya Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Agung RI terus mengupayakan supaya Mahkamah Syar’iyah yang dibentuk tersebut segera beroperasi. Dengan menanti waktu yang cukup lama yaitu ± 2 tahun 5 bulan dan persiapan yang sangat matang, tepatnya tanggal 21 September 2018 Ketua Mahkamah Agung menerbitkan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: 183/KMA/SK/IX/2018 tentang Penetapan Tanggal dan Tempat Peresmian Operasional Pengadilan.
Tidak cukup dengan tersebut peraturan di atas Mahkamah Syar’iyah Blangpidie beroperasi, ternyata harus di dukung peraturan yang diterbitkan pada tanggal 9 Oktober 2018 yaitu Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 205/KMA/SK/X/2018 tentang Pengoperasi Mahkamah Syar’iyah Blangpidie, Mahkamah Syar’iyah Suka Makmue dan Mahkamah Syar’iyah Kota Subulussalam. Sehingga dengan begitu tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2018 Mahkamah Syar’iyah Blangpidie beserta 84 satuan kerja baru lainnya diresmikan di Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud Propinsi Sulawesi Utara oleh Ketua Mahkamah Agung RI yaitu Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, MH. Peresmian Mahkamah Syar’iyah Blangpidie ini juga dihadiri oleh Ketua baru (pertama) yang akan dilantik yakni Bapak Amrin Salim, S.Ag, M.A.
Pada kata sambutannya dalam peresmian tersebut, Ketua Mahkamah Agung RI menegaskan bahwa kehadiran pengadilan-pengadilan baru sebanyak 85 pengadilan ini adalah dalam rangka upaya Mahkamah Agung mendekatkan akses pelayanan hukum dan keadilan bagi masyarakat terpencil dan terisolir agar juga merasakan pelayanan yang sama dengan perlakuan yang sama.
Menindaklanjuti peresmian tersebut, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 2018, Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangpidie pertama tersebut yaitu Amrin Salim, S.Ag, MA resmi mengambil sumpah dan dilantik oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh yaitu Dr. H. M. Jamil Ibrahim, SH, MH, MM. selanjutnya, Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangpidie mengambil sumpah dan melantik Hakim, Pejabat Fungsional dan Struktural yang bertempat di Gedung Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Dengan resmi dilantik, maka alamat kantor Mahkamah Syar’iyah Blangpidie adalah Jalan Bukit Hijau Komplek Perkantoran Kabupaten Aceh Barat Daya, yang merupakan gedung sementara pinjam pakai dari Pemkab Aceh Barat Daya, dengan susunan struktur organisasi 4 Pilar pada saat diresmikan adalah :
- Ketua:Amrin Salim, S.Ag, MA.
- Wakil Ketua:- (kosong)
- Panitera:H. Ilyas Daud, SH.
- Sekretaris:Drs. Muhammad
Sedangkan hakim pejabat struktural dan fungsional lainnya pada saat diresmikan terdiri dari
: Pahruddin Ritonga, S.HI (hakim)
: Hj. Murniati, SH (hakim)
: Antoni Sujarwo, SH (panmud hukum)
: Panitera Pengganti (Munizar, SH )
: Dede Kurniawan, SH (Kasub Umum)
Cakim : Reni Kasim, Hadatul Ulya, Evi Jusmanidar (saat ini masih diklat)
Setelah beroperasinya Mahkamah Syar’iyah Blangpidie yang dipimpin oleh Ketua pertama yakni Amrin Salim, S.Ag, M.A, maka dimulailah peletakan pertama dasar-dasar atau fondasi organisasi sebuah pengadilan. Struktur organisasi terus dibangun dan sistem-sistem administrasi perkantoran terus dikejar dan oleh karena gedung yang ada masih sangat sederhana maka mulailah dilakukan penambahan-penambahan dan penyempurnaan-penyempurnaan dari sisi sarana dan prasarana gedung dan halaman. Ketua bersama dengan panitera dan sekretaris terus melakukan audiensi ke Pemkab setempat dan Forkompinkab untuk melakukan sosialisasi dan perkenalan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah Blangpidie karena hal dapat dimaklumi karena posisi dan kehadiran Mahkamah Syar’iyah Blangpdie sebagai lembaga peradilan yang baru muncul setelah Kabupaten Aceh Barat Daya sudah berumur 17 tahun sehingga kehadiran MS perlu disosialisasikan baik kepada para pimpinan daerah maupun masyarakat pengguna pengadilan.
Usaha-usaha peningkatan pelayanan kepada masyarakat terus dilakukan termasuk juga perjuangan untuk memastikan tanah untuk bangunan kantor yang telah dihibahkan oleh Pemkab benar-benar legal dan resmi menjadi milik/aset Mahkamah Syar’iyah maka MS Blangpidie terus berjuang melalui kunjungan dan audiensi Ketua, Sekretaris dan Panitera ke Bupati dan BPN agar tanah yang dihibahkan dapat meningkat menjadi sertifikat sehingga aset tersebut bisa menjadi milik Mahkamah Agung RI. Sehingga rencana pembangunan gedung kantor MS Bpd yang permanen tidak menemui kendala. Sertifikat tanah tapak untuk gedung kantor MS yang baru telah selesai dan sudah berada di tangan Sekretaris namun secara resmi belum sierahkan.
Pada bulan Mei 2019 MS Blangpidie mendapat jatah Wakil ketua yang baru setelah selama 7 bulan jabatan ini kosong. Jabatan wakil ketua ini kebetulan diisi oleh hakim MS Bpd itu sendiri sehingga posisi 4 pilar sudah lengkap, sehingga gerak laju pembangunan pelayanan di MS Bpd diharapkan akan semakin kencang.
dengan susunan struktur organisasi 4 Pilar pada saat ini adalah :
- Ketua:Amrin Salim, S.Ag, MA.
- Wakil Ketua:Pahruddin Ritonga, S.HI, MH
- Panitera:H. Ilyas Daud, SH.
- Sekretaris:Drs. Muhammad
Kemudian pada tanggal 25 Juli 2019.pada saat kunjungan Ketua MS Aceh Dr.H.M. Jamil Ibrahim, SH, MH, MM ke MS Blangpidie, moment ini dimanfaatkan oleh MS Blangpidie untuk menggelar acara penyerahan langsung sertifikat secara simbolis oleh Pemkab Abdya dalam hal ini diwakili oleh Wakil Bupati (Muslizar, ST) dan Sekda (Drs. Tahmrin) di Gedung Kantor Pemkab kepada Ketua MS Blangpidie, Amrin Salim, S.Ag, MA yang disaksikan oleh Ketua MS Aceh. Acara ini juga dihadiri pejabat-pejabat Pemkab lainnya dan juga Hakim Tinggi MS Aceh Drs. H. Zulkifli Yus, M.H (Hakim Tinggi MS Aceh dan juga sebagai Askor Wilayah IV), dan Mirza, S.H., M.H (Kabag Umum dan Keuangan MS Aceh) serta dari jajaran MS Blangpidie yaitu Hj. Murniati, S.H (Hakim MS Blangpidie), Drs. Muhammad (Sekretaris MS Blangpidie) dan Dede Kurniawan, S.H (Kasubbag Umum dan Keuangan MS Blangpidie). Akhirnya MS Blangpidie memiliki tanah sendiri yang siap akan dibangun gedung yang megah apabila dana atau anggaran dari MA memungkinkan.
Program, Aplikasi dan Inovasi yang berbasis online atau eletronik yang dimiliki oleh MS Bpd saat ini :
MS Blangpidie telah menerapkan berbagai program yang diwajibkan oleh Mahkamah Agung maupun Badilag serta inovasi mandiri yang dikembangkan sendiri oleh MS BPD diantaranya :
- Website resmi MS Blangpidie dengan alamat www.ms-blangpidie.go.id
- SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara)
- Direktori Putusan MA
- PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu)
- Aplikasi SIWAS (Sistem Pengawasan )
- SIKEP (Sistem Informasi Kepegawaian) dan ABS
- Aplikasi e-Register
- Aplikasi e-Keuangan
- Aplikasi Command Center Badilag
- Aplikasi PNBP
- Aplikasi Data Penduduk Miskin
- Aplikasi Eksaminasi Putusan
- Aplikasi Antrian Sidang
- Aplikasi Notifikasi Perkara
- Aplikasi e-Kios Touchsreen
- Aplikasi e-MIS
- Aplikasi Despa
- Aplikasi APP ABT
- Aplikasi Website Satu Pintu
- Aplikasi Infor Produk Pengadilan
- Pencanangan Zona Integritas
- Pencanangan APM (Akreditasi Penjaminan Mutu)
- Aplikasi SIRUP
Kedepannya MS Blangpidie akan mengembangkan Aplikasi Buku Tamu untuk mendukung PTSP dan Aplikasi Arsip Perkara yang berbasis SIPP yang dinamakan dengan aplikasi SIAPP (Sistem Informasi ArsiP Perkara). Aplikasi terakhir ini merupakan hasil Proyek Perubahan Ketua MS Blangpidie, Amrin Salim, S.Ag,M.A ketika mengikuti Diklat PIM IV di Megamendung Bogor, yang juga telah dikembangkan di PA Balige ketika ketua menjadi Wakil Ketua PA Balige saat itu. Hasil Proyek Perubahan ini menghantarkan Ketua MS Blangpidie saat itu meraih peringkat ke VI (enam) terbaik seluruh Indonesia dan mendapatkan tiket liburan ke Malang. Masih banyak lagi inovasi yang akan dikembangkan tentunya semua itu memerlukan dukungan para stakeholder baik dukungan moril maupun finansial. Semoga kiranya MS Blangpidie akan semakin maju dalam kinerja dan pelayanan publik, semoga (dihimpun dari berbagai sumber data by amsal).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Pembentukan Mahkamah Syar'iyah Blangpidie download
SK Penetapan Tanggal dan Tempat Peresmian Operasional Pengadilan Baru download
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI download